Hindun binti Abi Umayyah (Umm Salama)
Kehidupan & Garis Keturunan Umm Salama
Beliau adalah Hind binti Abi Umayya ibn al-Mughira ibn al-Makhzumi, istri Abdullah ibn Abi Salama ibn Abd al-Asad al-Makhzumi, yang merupakan sepupu Nabi Muhammad (saw). Beliau melahirkan anak-anak bernama Umar, Salama, Zainab, dan Durrah. Umm Salama dan suaminya termasuk di antara umat Islam awal yang berhijrah ke Abyssinia dan kemudian ke Madinah. Abu Salama meninggal dunia akibat luka-luka yang diterima setelah Perang Uhud. Selanjutnya, Nabi (saw) menikahinya, menjadikannya salah satu Ibu Para Mukminin.
Pernikahan ini diperintahkan oleh wahyu Ilahi, dan beliau menjadi salah satu istri terbaik untuk suami terbaik. Umm Salama termasuk di antara orang-orang awal yang memeluk Islam dan memiliki peran penting dalam kehidupan Nabi (saw). Beliau dikenal karena kebijaksanaan, penilaian yang tepat, dan perannya dalam pewahyuan sebuah ayat dalam Al-Quran (Surah Al-Ahzab, 33:35), yang mengakui status laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang taat, serta laki-laki dan perempuan yang benar.
Karakteristik Umm Salama
Umm Salama, Ibu Para Mukminin, adalah salah satu wanita yang dihormati Allah dengan kecantikan dan garis keturunan mulia, bersama dengan kebijaksanaan pikirannya dan kecintaannya pada fiqih. Ketika suaminya, Abu Salama (semoga Allah meridoinya), meninggal dunia, dan masa iddahnya selesai, Nabi Muhammad (saw) mengirimkan lamaran untuk menikahinya. Beliau mengungkapkan kekhawatirannya tentang rasa cemburu yang kuat dan ketakutannya untuk menimbulkan kerugian bagi Nabi, karena beliau adalah seorang janda dengan anak-anak, dan tidak ada wali laki-laki untuknya. Nabi menenangkannya bahwa rasa cemburunya akan hilang, Allah akan menjaga anak-anaknya, dan tidak akan ada kerabatnya yang menentang pernikahannya. Beliau pun menerima lamaran tersebut, sambil berkata, "Allah telah menggantikan saya dengan seseorang yang lebih baik daripada Abu Salama, yaitu Rasulullah (saw)".
Kebijaksanaan di balik pernikahan Nabi dengan Umm Salama adalah untuk mendorong umat Islam agar menikahi para janda yang telah kehilangan suami dan menunjukkan kasih sayang kepada mereka serta mengambil tanggung jawab atas anak-anak mereka. Nabi dengan murah hati merawat keempat anaknya.
Salah satu momen penting dalam sejarah Islam adalah pewahyuan ayat dalam Surah At-Tahrim (66:5) seperti yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari. Umm Salama memainkan peran dalam peristiwa ini ketika istri-istri Nabi berkumpul, dan beliau menanggapi komentar Umar ibn al-Khattab tentang kemungkinan Nabi menceraikan istrinya. Beliau mengutip ayat tersebut, dan peristiwa ini merupakan bukti kebijaksanaan dan perannya sebagai salah satu Ibu Para Mukminin.
Posisi dan kontribusi Umm Salama dalam komunitas Islam awal sangat signifikan, dan beliau tetap menjadi tokoh yang dihormati dalam sejarah Islam.
Pernikahan Umm Salama dengan Nabi Muhammad
Umm Salama (semoga Allah meridoinya) menikah dengan Nabi Muhammad (saw) pada tahun keempat Hijrah pada usia sekitar tiga puluh lima tahun. Beliau lahir di Makkah tujuh belas tahun sebelum misi Nabi dimulai. Beliau adalah putri Amir ibn Abdullah ibn al-Harith, yang dikenal sebagai "Zad al-Rakib" karena kedermawanannya dalam menyediakan kebutuhan bagi siapa saja yang bepergian bersamanya. Umm Salama berasal dari garis keturunan yang mulia dan terhormat dalam sukunya, karena beliau adalah sepupu Khalid ibn al-Walid dan sepupu Abu Jahl ibn Hisham. Ayahnya dikenal karena kedermawanannya.
Kisah Hijrah Umm Salama ke Madinah
Abu Salama dan istrinya, Umm Salama, termasuk di antara sahabat-sahabat awal Nabi Muhammad (saw) yang berhijrah ke Madinah. Ketika mereka sedang bersiap untuk pergi ke Madinah, suku Banu Mughira dan Banu Abd al-Asad menghalangi mereka dan memisahkan mereka. Suku Banu Abd al-Asad mengambil anak Umm Salama, Salama, setelah beberapa perselisihan, dan Umm Salama ditahan oleh suku Banu Mughira. Abu Salama berhasil sampai ke Madinah, meninggalkan istri dan anaknya di belakang.
Keluarga mereka terpisah, dan Umm Salama sering pergi ke pinggiran Makkah, ke tempat yang disebut Bat-ha, di mana ia menangisi suami dan anaknya, menanggung perpisahan mereka selama hampir setahun. Keadaan Umm Salama membuat orang-orang Makkah merasa iba dan mereka menunjukkan simpati kepada beliau. Mereka menyarankan agar beliau membawa anaknya dan bergabung dengan suaminya di Madinah.
Umm Salama membawa anaknya Salama dan memulai perjalanan menuju Madinah. Di sepanjang jalan, mereka bertemu dengan Uthman ibn Talha, yang berasal dari keluarga bangsawan Makkah. Ia menawarkan untuk mengantar mereka dengan aman ke Madinah. Umm Salama menerima bantuannya, dan ia membimbing beliau dan anaknya menuju kota Madinah, tempat suaminya, Abu Salama, telah menetap.
Umm Salama biasa berkata, "Aku tidak tahu ada keluarga yang menderita dalam Islam seperti keluarga Abu Salama." Perpisahan dan akhirnya pertemuan mereka di Madinah adalah bukti pengorbanan dan ujian yang dihadapi oleh umat Islam awal demi iman mereka dan komitmen mereka terhadap misi Nabi.
Kematian Abu Salama
Abu Salama, yang nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Abd al-Asad ibn Makhzumi al-Qurashi al-Makhzumi, adalah saudara susuan Nabi Muhammad (saw) dan putra Barrah bint Abd al-Muttalib, yang merupakan bibi dari Nabi. Ia termasuk di antara orang-orang awal yang memeluk Islam dan memainkan peran aktif dalam komunitas Muslim awal.
Abu Salama ikut serta dalam Perang Badr dan Perang Uhud, di mana ia terluka dalam pertempuran yang juga melukai banyak Muslim lainnya. Sekitar dua bulan setelah Perang Uhud, Nabi Muhammad (saw) mengirimnya sebagai pemimpin ekspedisi rahasia dengan 150 orang. Misi mereka adalah untuk menghadapi suku Banu Khuzaima, yang sedang menghasut suku-suku lain untuk melawan umat Islam.
Abu Salama dan ekspedisinya segera merespons perintah Nabi dan memulai misi ini. Ketika suku-suku musuh mendengar tentang kedatangan mereka, mereka melarikan diri dan meninggalkan sejumlah besar ternak, termasuk unta dan domba, yang menjadi rampasan perang untuk ekspedisi Muslim. Mereka kembali ke Madinah dengan kemenangan dan kekayaan yang diperoleh.
Namun, segera setelah kembali ke Madinah, kesehatan Abu Salama memburuk akibat luka-luka yang dialaminya selama Perang Uhud. Sayangnya, luka-luka tersebut ternyata fatal, dan Abu Salama meninggal dunia akibat komplikasi dari luka-lukanya. Kematian beliau merupakan kehilangan bagi komunitas Muslim dan menandai akhir dari seorang sahabat awal yang berdedikasi dan telah berpartisipasi dalam peristiwa penting dalam sejarah awal Islam.
Kematian Umm Salama
Umm Salama, semoga Allah meridoinya. Beliau memegang posisi yang signifikan dan dihormati di mata Nabi Muhammad (saw). Setelah melaksanakan shalat Asr, Nabi mengunjungi istri-istrinya dan mulai dengan menyapa mereka karena beliau adalah yang tertua di antara mereka.
Umm Salama meriwayatkan sekitar tiga ratus delapan puluh hadits, dan beliau adalah salah satu Ibu Para Mukminin yang memainkan peran penting dalam melestarikan dan menyebarkan ajaran Islam. Menjadi bagian dari rumah tangga Nabi, terutama dalam masalah terkait wanita, beliau berkontribusi dalam mengajarkan dan menegakkan hukum dan praktik Islam yang berkaitan dengan wanita.
Umm Salama hidup cukup lama setelah wafatnya Nabi Muhammad (saw). Beliau menyaksikan kekhalifahan Khulafaur Rasyidin dan aktif berpartisipasi dalam berbagai peristiwa dan diskusi.
Selama kekhalifahan Utsman ibn Affan (semoga Allah meridoinya), ketika terjadi perselisihan dan fitnah (uji coba) besar, Umm Salama menghadapinya sebagai ibu dari para mukminin yang dihormati. Beliau menasihati Utsman untuk mengikuti jalan Nabi Muhammad (saw) dan dua Khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar, dalam menegakkan keadilan dan menjaga perdamaian di antara komunitas. Utsman sangat menghormati nasihatnya, dan beliau dikenal karena kebijaksanaan dan bimbingannya selama periode yang menantang ini.
Dalam peristiwa Perang Camel (Jamal), beliau mengirimkan nasihat kepada Aisyah, putri Abu Bakar, agar tidak ikut serta dalam pertempuran. Umm Salama mendorongnya untuk tetap di rumah dan tidak berpartisipasi dalam konflik tersebut. Aisyah mengikuti nasihatnya, dan ini menunjukkan peran Umm Salama sebagai tokoh yang bijaksana dan dihormati di kalangan komunitas Muslim awal.
Umm Salama terus menjadi sumber bimbingan dan kebijaksanaan bagi umat Islam sepanjang hidupnya. Beliau wafat selama kekhalifahan Yazid ibn Muawiya pada tahun 61 H (Hijrah), pada usia lebih dari delapan puluh atau bahkan sembilan puluh tahun, semoga Allah meridoinya. Kehidupan dan kontribusinya adalah bukti warisan abadi dari wanita Muslim awal yang memainkan peran penting dalam melestarikan dan menyebarluaskan ajaran Islam.