Perlakuan Nabi Muhammad Terhadap Keluarga dan Sahabatnya
Allah Yang Maha Esa menggambarkan utusannya Muhammad (semoga damai dan berkah tercurah kepadanya) dengan mengatakan: "Dan sungguh, engkau adalah memiliki akhlak yang agung". Allah hanya menggambarkannya demikian karena kebesaran akhlaknya yang mulia dalam Islam dan tingginya kedudukan mereka.
Dalam artikel ini, diberikan penjelasan mengenai perilaku teladan Nabi dalam memperlakukan keluarganya, para sahabat, anak-anak, dan bahkan musuh-musuhnya.
Perlakuan Mulia Nabi Terhadap Keluarganya
Perlakuan mulia Nabi terhadap keluarganya adalah pameran komprehensif dari akhlak yang baik. Dia menunjukkan kebaikan kepada orang tua dan anak-anak, melayani dirinya sendiri dan rumah tangganya. Dia akan memperbaiki sepatunya dan menambal pakaiannya, memperlakukan istrinya sesuai dengan kebijaksanaan dan kecerdasan mereka. Dia akan bercanda dan berlomba dengan mereka, seperti yang dilakukannya dengan Aisha. Ketika makanan disajikan kepadanya, dia akan memakannya jika dia menginginkannya, dan jika tidak, dia akan meninggalkannya tanpa mengkritik. Dia hanya marah ketika melihat kesucian Allah dilanggar, tidak pernah untuk alasan pribadi. Dia memanggil setiap istrinya dengan nama yang mereka sukai, memanggil Aisha, misalnya, "Wahai Aa'ish!" ketika Jibril menyapanya. Dia biasa mencium salah satu istrinya saat berpuasa, seperti yang dilaporkan Aisha. Di antara cara untuk memupuk cinta antara pasangan, sebagaimana dikatakan Nabi, adalah dengan memberikan nafkah kepada mereka, bahkan jika itu hanya suapan makanan yang Anda angkat ke mulut istri Anda. Tindakan ini meningkatkan kasih sayang dan dianggap sebagai bentuk sedekah.
Aspek lain dari perilaku Nabi adalah ungkapan kasih sayangnya terhadap istrinya dan keterbukaannya tentang cinta yang dia miliki untuk mereka. Dia membandingkan cintanya kepada Aisha dengan ikatan yang erat dalam tali, mengingatkannya tentang kontinuitas kasih sayangnya. Dia akan duduk bersama istrinya, menghibur mereka, dan mendengarkan mereka. Suatu ketika, dia duduk dengan Aisha dan mendengarkan ceritanya dari era pra-Islam, mengisi hatinya dengan kegembiraan. Meskipun tanggung jawabnya banyak, dia selalu menemukan waktu untuk duduk dan menemani istrinya kapan pun mereka mau. Dia akan berdoa dengan duduk, membaca sambil duduk, dan ketika sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat tersisa, dia akan berdiri dan membacanya, kemudian ruku dan sujud, mengulang yang sama pada unit kedua doa. Setelah selesai, dia akan melihat sekeliling, dan jika saya terjaga, dia akan berbicara kepada saya, dan jika saya tidur, dia akan berbaring.
Perilaku ini tidak bertentangan dengan dedikasinya kepada ibadah pada saat itu, karena bersama istri juga dianggap sebagai ibadah. Di antara kebaikan besar yang ditunjukkan Nabi kepada istrinya adalah apa yang dilakukannya dengan Aisha ketika orang-orang Abyssinia bermain di masjid dengan tombak mereka. Dia berkata, "Jadi Rasulullah menutupi saya dengan kainnya saat saya menonton mereka bermain, dan saya terus menonton sampai saya pergi." Nabi akan berkonsultasi dengan istrinya tentang masalah yang menyangkut masyarakat, bukan hanya di tingkat keluarga. Selama Perjanjian Hudaybiyyah, ketika salah satu syaratnya adalah mereka kembali tanpa menyelesaikan ritus haji mereka, para sahabat tidak setuju. Dia berkonsultasi dengan Umm Salamah, dan dia menyarankan agar dia keluar kepada mereka, tidak berbicara dengan siapa pun, mengorbankan hewan, dan mencukur kepalanya. Jika mereka melihatnya melakukan itu, mereka akan melakukan hal yang sama. Dia mengikuti nasihatnya, dan para sahabat mengikuti jejaknya. Dia juga memberi nasihat tentang perlakuan terhadap wanita, bahkan dalam menghadapi kesalahan mereka, mengatakan, "Perlakukan wanita dengan baik. Wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang teratas. Jika Anda mencoba meluruskannya, Anda akan mematahkannya. Jadi, perlakukan wanita dengan baik."
Perlakuan Mulia Nabi Terhadap Para Sahabatnya
Perlakuan mulia Nabi terhadap para sahabatnya ditandai oleh kebaikan dan pengampunan terhadap mereka yang melakukan kesalahan. Dia sering berkonsultasi dengan mereka dalam berbagai hal, meyakinkan mereka tentang kemenangan, dan memperkuat tekad mereka. Dia menunjukkan cintanya kepada mereka dalam interaksinya, menggambarkan masing-masing dengan atribut unik, memupuk kasih sayang dan cinta di antara mereka. Misalnya, dia menggambarkan Zubair ibn al-Awwam sebagai temannya, Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab sebagai menterinya, menjadikan Hudhayfah ibn al-Yaman sebagai kepercayaannya, dan mempercayakan urusan bangsa kepada Aamir ibn al-Jarrah. Dia bercanda dengan para sahabatnya, berbagi makanan dengan mereka, dan berpartisipasi dalam suka dan duka mereka. Suatu ketika, Jabir ibn Abdullah menceritakan bahwa Nabi datang kepadanya pada suatu hari dan melambai agar dia mengikutinya. Dia mengambil tangan Jabir dan membawanya ke salah satu kamar istrinya. Nabi masuk, dan Jabir diizinkan masuk. Nabi bertanya kepada keluarganya apakah ada makanan, dan mereka membawakan tiga roti. Nabi mengambil satu dan meletakkannya di depan Jabir, lalu mengambil yang lain dan meletakkannya di depannya sendiri, dan kemudian mengambil yang ketiga, membaginya dua, dan meletakkan separuh di depan Jabir dan separuh di depan dirinya sendiri, sambil berkata, "Apakah ada bumbu?" Mereka menjawab, "Tidak ada kecuali sedikit cuka." Dia berkata, "Bawakan; sesungguhnya cuka adalah sesuatu yang baik."
Dia merasakan kesedihan para sahabatnya dan berbagi dalam kebahagiaan mereka, mempertimbangkan keadaan emosi mereka dan mengangkat semangat mereka. Dia selalu hadir bersama mereka, merasakan kesakitan mereka dan berusaha meringankannya dengan cara apa pun yang bisa dia lakukan. Di saat-saat sulit, seperti saat Perang Parit ketika makanan langka, dia menolak untuk makan tanpa berbagi dengan mereka, memanggil mereka, "Wahai orang-orang parit! Jabir telah membangun penghalang, jadi sambutlah ia seperti Anda menyambut keluarga Anda." Ketika mereka merasa putus asa, dia menawarkan solusi praktis untuk mengangkat moral mereka, mengingatkan mereka tentang dukungan Allah dan pahala yang menanti mereka di Akhirat. Dia akan makan, minum, dan berpakaian seperti mereka, menghapus segala perbedaan antara dirinya dan para sahabatnya.
Perlakuan Mulia Nabi Terhadap Anak-Anak
Nabi Allah memperlakukan anak-anak dengan lembut dan penuh kasih sayang, menunjukkan rasa belas kasihan kepada mereka. Ini terlihat dalam interaksinya dengan putranya Ibrahim dan cucunya Hassan dan Hussein. Anas ibn Malik menggambarkan perlakuan ini, mengatakan, "Saya tidak pernah melihat siapa pun yang lebih penuh kasih sayang terhadap anak-anak daripada Rasulullah. Putranya Ibrahim sedang disusui di kota Al-Madinah, dan dia akan pergi menemuinya, dan kami akan pergi bersamanya, dan dia akan memasuki rumah yang penuh dengan asap. Dia akan mengangkatnya dan menciumnya, dan kemudian dia akan mengembalikannya." Tanggung jawab dan kewajiban Nabi tidak menghalanginya untuk menunjukkan kasih sayang dan kelembutan kepada anak-anaknya. Anas ibn Malik menggambarkan Nabi sebagai orang yang paling baik terhadap anak-anak, mungkin dipengaruhi oleh kedekatannya dengan Nabi sejak usia dini. Nabi akan mencium anak-anak, menggendong mereka, memeluk mereka ke dadanya, dan bermain dengan mereka. Dia akan menggendong Hassan dan Usama ibn Zaid, memeluk mereka, dan mendoakan mereka. Dia akan menggendong Hassan dan Hussein di punggungnya dan berjalan dengan mereka. Dia akan mendorong anak-anak untuk mendatanginya, dan mereka akan berlari kepadanya dan jatuh ke arahnya, dan dia akan mengangkat mereka dan menciumnya.
Nabi Muhammad juga baik kepada anak-anak dengan memberikan mereka hadiah. Misalnya, Najashi memberinya cincin dengan segel emas, dan dia memberikannya kepada cucunya Umamah, putri Zainab. Dia biasa memanggil Anas dengan nama-nama lain selain namanya dengan cara yang main-main. Ketika menyapa Anas, dia akan berkata dengan penuh kasih, "Wahai pemilik dua telinga." Ketika adik Anas ibn Malik meninggal, Nabi dengan simpatik dan ceria menghiburnya, bertanya, "Wahai Abu 'Umair, apa yang terjadi pada burung pipit kecil?" Mahmoud ibn Al-Rabi', salah satu sahabat muda, menggambarkan bagaimana Nabi pernah menandai wajahnya dengan tangannya sebagai isyarat main-main ketika dia berusia lima tahun.
Nabi memperhatikan perasaan anak-anak dan pemahaman mereka yang terbatas. Ketika dia berdiri untuk shalat, dan Umamah bint Abi Al-'As bersamanya, dia akan meletakkannya di sampingnya dan berdoa. Ketika Umamah mengalami kesulitan, dia tidak ragu untuk mengangkatnya dan menggendongnya di punggungnya, mengingatkan semua orang tentang nilai cinta dan kasih sayang. Dia akan menghormati dan memperlakukan mereka dengan rasa hormat yang sama yang dia tunjukkan kepada orang dewasa. Di antara aspek lain dari cinta Nabi kepada anak-anak adalah bahwa dia akan tidak peduli jika anak-anak mengganggu doa-doanya. Dia akan mempersingkat doanya dan tidak menyuruh mereka untuk pergi. Dalam suatu pernyataan, Nabi berkata, "Dari tempatku di dunia ini, saya diibaratkan seperti bapak di antara anak-anaknya. Kalian adalah anak-anakku."
Perlakuan Mulia Nabi Terhadap Musuhnya
Keberanian, keteguhan, dan sikap pemaaf Nabi dalam menghadapi musuh-musuhnya adalah contoh yang luar biasa dari akhlak yang mulia. Salah satu momen paling berkesan terjadi setelah Perang Uhud ketika dia dikhianati oleh Banu Nadhir. Saat dia memimpin pasukannya untuk berperang, dia dikhianati oleh seorang Yahudi, yang membunuh dua orang Muslim. Nabi melihat ini sebagai pengkhianatan, tetapi tetap menunjukkan sikap pemaafnya. Ketika dia ditanya tentang hukuman bagi mereka, dia tidak hanya merespons dengan kemarahan, tetapi juga memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka.
Sikap pemaaf Nabi bahkan ditunjukkan ketika dia dihadapkan pada mereka yang telah menyakitinya. Salah satu kisah paling terkenal adalah saat dia pergi ke Ta'if, di mana penduduknya menolak ajaran Islamnya dan melemparinya dengan batu. Namun, dia tidak membalasnya, melainkan berdoa untuk mereka. Dalam doanya, dia meminta ampunan untuk mereka, menunjukkan betapa dalamnya rasa kasih sayang dan pengertian yang dimilikinya.
Selanjutnya, ketika Nabi memasuki Mekkah, kota yang pernah menentangnya dan mengusirnya, dia menunjukkan kelemahan dan pengampunan. Ali bin Abi Thalib, ketika dibebaskan dari tanggung jawabnya, memberitahu Nabi bahwa orang-orang Quraisy yang berperang melawan mereka telah datang untuk meminta ampun. Dia berkata, "Bergembiralah, dan beri mereka apa yang mereka inginkan, bahwa kalian tidak akan dihukum." Dengan demikian, saat-saat ini menggambarkan kelemahan dan kebaikan Nabi dalam memperlakukan musuh-musuhnya.
Penutup
Dalam konteks ini, akhlak Nabi Muhammad (semoga damai dan berkah tercurah kepadanya) seharusnya menjadi pedoman bagi setiap Muslim untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan dan perilaku mulia yang ia tunjukkan kepada keluarganya, sahabat, anak-anak, dan bahkan musuh-musuhnya adalah contoh sempurna tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang lain. Dia menunjukkan bahwa akhlak yang baik bukan hanya terletak pada kata-kata, tetapi juga pada tindakan dan perlakuan kita terhadap sesama manusia, terlepas dari status atau hubungan kita dengan mereka.