Zainab binti Nabi Muhammad

Zainab binti Nabi Muhammad
Oleh Who Muhammad Is Tim
| Komentar

Zainab binti Nabi Muhammad (saw) lahir ketika Nabi Muhammad (saw) berusia tiga puluh tahun. Dia adalah putri tertua dari Nabi. Ketika Zainab mencapai usia pernikahan, bibi dari pihak ayahnya, Hala binti Khuwailid, melamarnya untuk putranya, Abu al-Ash bin al-Rabi'. Pernikahan ini awalnya diberkahi dan diterima dengan baik oleh semua orang. Selain itu, ibunya, Khadijah, menghadiahkan kalung yang terkenal sebagai bagian dari maharnya.

Perjalanan Luar Biasa Zainab

Ketika wahyu datang kepada Nabi Muhammad (saw), putrinya Zainab memeluk Islam bersama putrinya. Namun, suaminya, Abu al-Ash, tidak menerima iman pada saat itu. Karena ketidakpercayaannya, Zainab berpisah darinya dan meninggalkannya.

Kemudian, Abu al-Ash ikut serta dalam Perang Badar melawan Nabi Muhammad (saw) sebagai bagian dari pasukan non-Muslim. Selama pertempuran ini, ia ditangkap oleh kaum Muslimin. Pada saat ini, Zainab turun tangan untuk menebus suaminya dan menawarkan kalung yang telah menjadi hadiah dari ibunya, Khadijah (ra), sebagai tebusan untuk pembebasannya.

Melihat kalung tersebut, Nabi Muhammad (saw) merasa sedih dan berkata, "Jika kamu berkenan, bebaskanlah tawanan wanita ini dan kembalikan kalungnya". Seiring berjalannya waktu, Abu al-Ash akhirnya memeluk Islam setelah beberapa tahun pengalaman. Setelah itu, pasangan tersebut bersatu kembali setelah lama berpisah. Zainab menjadi teladan wanita saleh dan istri yang setia, dan mereka hidup bersama dalam cinta dan pengertian setelah pertemuan kembali mereka.

Anak-anak Zainab, Putri Nabi

Zainab, putri Nabi Muhammad (saw), memiliki dua anak, Ali dan Umamah. Pada awalnya, Abu al-Ash, yang merupakan suami dan ayah Ali, memiliki hak asuh atas putra mereka karena kebiasaan menyusui. Namun, setelah masa menyusui berakhir, Nabi Muhammad (saw) mengambil Ali kembali dan membesarkannya di bawah bimbingannya. Tragisnya, Ali meninggal pada usia yang sangat muda dan berada di punggung unta Nabi saat Penaklukan Makkah ketika ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Saat Ali meninggal, Nabi Muhammad (saw) sangat bersedih. Diriwayatkan bahwa Nabi (saw) mengirim pesan kepada Zainab, menghiburnya dengan kata-kata, "Kepunyaan Allah apa yang Dia ambil, dan kepunyaan-Nya apa yang Dia berikan, dan segala sesuatu memiliki waktu yang ditentukan. Maka, bersabarlah dan carilah pahala".

Zainab kemudian mengirim pesan kepada Nabi (saw), bersumpah bahwa dia harus datang menemuinya. Nabi (saw) berdiri dan pergi ke rumahnya, ditemani oleh beberapa sahabat. Ketika dia memegang tubuh anak yang tak bernyawa, matanya dipenuhi air mata. Saad bin Ubadah bertanya, "Wahai Rasulullah, apa ini?" Nabi (saw) menjawab, "Ini adalah rahmat yang Allah letakkan di hati hamba-Nya. Sesungguhnya, Allah menunjukkan rahmat kepada hamba-Nya yang penuh kasih sayang".

Adapun Umamah, dia adalah cucu Nabi (saw) dan memegang tempat istimewa di hatinya. Nabi sering kali menggendongnya dan menyatakan kasih sayangnya, mengatakan, "Dia adalah yang paling aku cintai dari keluargaku". Setelah wafatnya Sayyidah Fatimah, putri Nabi (saw), dia meninggalkan permintaan kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib, untuk menikahi Umamah. Mengikuti keinginan Fatimah, Ali menikahi Umamah. Kemudian, setelah Ali wafat, disarankan agar Umamah menikahi Mughirah bin Nawfal bin al-Harith, dan dia melahirkan seorang putra bernama Yahya. Sayangnya, Yahya tidak hidup lama. Umamah hidup hingga usia sekitar lima puluh tahun.

Karakteristik Zainab

Kesetiaan Mendalam kepada Suaminya: Zainab, putri Nabi Muhammad (saw), mencontohkan kesetiaan yang tak tergoyahkan dan cinta yang tulus kepada suaminya, bahkan dalam masa-masa sulit. Dedikasinya kepada Abu al-Ash bin al-Rabi' sangat luar biasa, dan kesetiaan ini bertahan bahkan ketika mereka dipisahkan.

Mempelajari Kesetiaan dan Cinta Sejati dari Orang Tuanya: Orang tua Zainab, Nabi Muhammad (saw) dan Khadijah (ra), memberikan teladan kuat tentang kesetiaan, ketulusan, dan cinta sejati dalam hubungan mereka sendiri. Zainab, sebagai hasilnya, menjadi istri yang luar biasa dan saleh.

Ketidakpamrihan dalam Penebusan: Ketika Abu al-Ash ditangkap setelah Perang Badar, Zainab menebusnya dengan menawarkan kalung ibunya Khadijah sebagai tebusan. Tindakan ketidakpamrihan dan cinta ini menunjukkan komitmennya terhadap kesejahteraan suaminya.

Mendukung Konversi Suaminya: Tindakan Zainab juga memainkan peran penting dalam suaminya Abu al-Ash memeluk Islam. Ketika dia mencari perlindungan dengannya setelah barang dagangannya disita oleh kaum Muslimin, Zainab melindunginya, dan ini akhirnya membawa pada konversinya ke Islam. Dia bersaksi tentang keesaan Allah dan kenabian Muhammad (saw), dan Zainab berperan penting dalam proses ini.

Tetap Setia di Sisi Suaminya: Bahkan setelah Abu al-Ash memeluk Islam, dia terus hidup dengan dedikasi untuk mendukung dan mempertahankan pesan Islam. Dia menghadapi banyak tantangan dan kesulitan saat membela agama Allah, dan dia tetap setia hingga wafatnya selama kekhalifahan Utsman.

Sifat-sifat Zainab seperti kesetiaan, cinta, dan dukungan untuk suaminya menjadi inspirasi bagi para mukmin, menekankan pentingnya hubungan yang kuat dan kokoh dalam keluarga dan masyarakat.

Menghadapi Kesulitan Berat Demi Islam

Zainab menghadapi kesulitan yang luar biasa dalam komitmennya terhadap Islam. Ketika dia awalnya berusaha meninggalkan suaminya dan kembali ke ayahnya setelah Perang Badar, para pemimpin Quraisy berniat untuk menyerangnya. Harb bin al-Aswad bin al-Muththalib dan Nafi' bin Abd al-Qays berusaha menyakitinya dengan melempar tombak ke perutnya meskipun dia sedang hamil. Hal ini menyebabkan keguguran, dan dia mengalami pendarahan parah. Namun, saudara iparnya datang membelanya dan melindunginya dari para penyerang. Dengan bantuan Zaid bin Haritsah, yang kemudian memeluk Islam dan mengantarkannya kepada Nabi Muhammad (saw), dia berhasil meninggalkan Makkah, yang mengarah pada perpisahannya dengan suaminya.

Zainab memiliki tempat yang sangat istimewa di hati Nabi Muhammad (saw) karena penerimaan awalnya terhadap Islam, hijrahnya demi Allah, dan ketabahannya dalam menghadapi banyak ujian demi penyebaran Islam. Dia tetap setia kepada suaminya bahkan setelah dia meninggalkannya demi kedamaian. Dia mengalami banyak kesulitan di jalannya, yang menjadi faktor utama dalam kematiannya pada tahun kedelapan Hijrah, bersatu kembali dengan ayahnya, Nabi Muhammad (saw).

Wafatnya Zainab, Putri Nabi

Putri-putri Nabi Muhammad (saw) wafat sebelum beliau meninggal, kecuali Fatimah, yang meninggal dunia enam bulan setelah wafatnya Nabi, sangat bersedih atas kepergiannya. Zainab, bagaimanapun, wafat pada tahun kedelapan Hijrah, dan Nabi Muhammad (saw) sangat meratapi kehilangan tersebut.

Zainab meninggalkan warisan kehormatan yang dihormati karena kesetiaan, ketulusan, kebenaran, dan imannya. Suaminya, Abu al-Ash bin al-Rabi', memuji Zainab dalam beberapa syairnya:

"Putri Sang Amanah, semoga Allah memberinya balasan; setiap suami akan memujinya atas pengetahuannya."

Ketika Zainab meninggal dunia, tubuhnya dimandikan oleh Ummu Aiman, Ummul Mukminin Saudah binti Zam'ah, dan Ummul Mukminin Ummu Salamah (semoga Allah meridhai mereka semua). Nabi Muhammad (saw) memimpin salat jenazahnya dan turun ke kuburnya, ditemani oleh suaminya, Abu al-Ash. Dia adalah orang pertama yang ditempatkan dalam keranda dalam Islam, ide yang terinspirasi oleh Asma binti Umays ketika dia mengamati praktik ini di antara orang-orang Ethiopia saat menemani suaminya, Ja'far bin Abi Thalib, selama hijrah mereka.

Kategori Keturunan

Tinggalkan Komentar

Harap jangan menggunakan nama bisnis Anda untuk berkomentar.