Kisah Terindah Para Sahabat Nabi

Kisah Terindah Para Sahabat Nabi
Oleh Who Muhammad Is Tim
| Komentar

Persaudaraan Antara Abdur-Rahman ibn Awf dan Sa’d ibn Ar-Rabi’

Diriwayatkan bahwa ketika sahabat mulia Abdur-Rahman ibn Awf hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad (ﷺ) menjalin ikatan persaudaraan antara dia dan Sa’d ibn Ar-Rabi’, seorang pria kaya. Sa’d menawarkan untuk memberikan Abdur-Rahman setengah dari hartanya dan bahkan menyarankan agar Abdur-Rahman dapat menikahi salah satu istrinya setelah dia menceraikannya.

Namun, Abdur-Rahman ibn Awf (RA) menanggapi dengan mengatakan:

"Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu; tunjukkan saja aku jalan ke pasar".

Diriwayatkan bahwa kemudian ia menjadi seorang pedagang yang sangat sukses dan dengan murah hati menyumbangkan ratusan ribu dinar untuk mendukung pasukan Muslim dan membantu orang miskin.

Abu Dahdah dan Pohon Kurma di Surga

Seorang anak yatim memiliki perselisihan dengan seorang sahabat mengenai sebatang pohon kurma. Anak yatim tersebut ingin membangun pagar di sekeliling propertinya, tetapi pohon itu menghalangi. Dia membawa kasusnya kepada Nabi (ﷺ), yang meminta pemilik pohon untuk menyerahkannya kepada anak yatim tersebut. Pria itu menolak. Nabi (ﷺ) kemudian menawarkan imbalan yang lebih besar; menukarnya dengan sebuah pohon di surga; tetapi pria itu tetap menolak.

Pada saat itu, Abu Dahdah menyaksikan situasi tersebut. Melihat imbalan besar yang ditawarkan, dia dengan antusias ikut campur. Dia mendekati pemilik pohon dan membuat tawaran: dia akan memberikan seluruh kebunnya sebagai ganti pohon tunggal itu. Pria itu setuju, dan dengan demikian, Abu Dahdah memastikan dirinya mendapatkan sebuah pohon di surga.

Keberanian Abu Bakar dalam Membela Nabi

Abu Bakar As-Siddiq (semoga Allah meridhoi beliau) memiliki momen-momen luar biasa dalam membela Rasulullah (ﷺ) dan melindunginya dari bahaya Quraisy. Salah satu momen tersebut, seperti yang disebutkan dalam Sahih Al-Bukhari, terjadi ketika Nabi (ﷺ) sedang shalat, dan ‘Uqbah ibn Abi Mu’ait, salah satu kaum kafir Mekah, mendekatinya dan mulai mencekiknya dengan kainnya. Abu Bakar (semoga Allah meridhoi beliau) mendorong ‘Uqbah menjauh dari Nabi dan berkata:

"Apakah kalian akan membunuh seorang pria karena dia berkata: ‘Tuhanku adalah Allah,’ padahal dia telah membawa bukti-bukti nyata dari Tuhan kalian?" (Quran 40:28).

Di antara para sahabat yang bersaksi tentang keberanian Abu Bakar dan mengakui beliau sebagai salah satu pria paling berani adalah Ali ibn Abi Talib (semoga Allah meridhoi beliau). Ketika Ali menjadi Khalifah, beliau pernah bertanya kepada para sahabatnya siapa yang mereka anggap paling berani di antara orang-orang. Mereka menjawab bahwa itu adalah beliau. Namun, beliau mengatakan bahwa ada seseorang yang bahkan lebih berani darinya; yaitu Abu Bakar; dan beliau menceritakan beberapa tindakan keberanian Abu Bakar.

Salah satu momen tersebut adalah selama Pertempuran Badar, di mana Abu Bakar (semoga Allah meridhoi beliau) tetap dekat dengan Nabi (ﷺ), khawatir bahwa kaum musyrik mungkin akan menyakitinya. Beliau siap mengorbankan nyawanya sendiri dalam membela Rasulullah, mengayunkan pedangnya dan menyerang siapa saja yang mencoba menyakiti atau membunuh Nabi.

Momen lain dari keberanian Abu Bakar terjadi ketika Quraisy mengelilingi Nabi (ﷺ), menariknya dan mengejeknya, mengatakan:

"Apakah kamu yang menjadikan semua dewa menjadi satu?"

Tidak ada sahabat yang berani campur tangan; kecuali Abu Bakar, yang bergegas membela Nabi, mendorong para kafir dan berkata:

"Celakalah kalian! Apakah kalian akan membunuh seorang pria karena dia berkata: ‘Tuhanku adalah Allah’?"

Momen-momen ini menunjukkan keberanian luar biasa Abu Bakar dan pembelaannya yang tak tergoyahkan terhadap Nabi (ﷺ) dari segala bahaya.

Kemuliaan Utsman ibn Talha

Utsman ibn Talha (semoga Allah meridhoi beliau) memiliki tindakan luar biasa yang menunjukkan kesatriaannya dan kepribadiannya, bahkan sebelum memeluk Islam. Ketika Rasulullah (ﷺ) memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, Abu Salama berangkat bersama istrinya, Umm Salama, dan putra mereka yang masih kecil. Namun, suku Umm Salama mencegahnya bepergian dengan suaminya dan membawanya kembali ke tanah air mereka. Sebagai tanggapan, keluarga Abu Salama mengambil anak tersebut darinya sebagai balasan atas apa yang dilakukan keluarganya.

Umm Salama (semoga Allah meridhoi beliau) tetap berduka karena perpisahan dari suami dan putranya selama hampir setahun, hingga akhirnya keluarganya mengizinkannya pergi dan bersatu kembali dengan suaminya. Dia berangkat ke Madinah dengan putranya yang masih kecil, dan di sepanjang jalan, dia bertemu dengan Utsman ibn Talha, yang saat itu belum memeluk Islam. Pertemuan ini terjadi di Tan’im, dekat Mekah. Melihatnya sendirian, Utsman ibn Talha bertanya tentang tujuannya dan apakah dia memiliki seseorang yang menemaninya.

Ketika dia memberitahunya bahwa dia sedang bepergian untuk bergabung dengan suaminya dan tidak memiliki siapa pun bersamanya kecuali Allah dan putranya, Utsman ibn Talha menemaninya dan membimbingnya ke lokasi suaminya. Umm Salama (semoga Allah meridhoi beliau) kemudian memuji Utsman ibn Talha atas kesatriaannya, kemurahan hatinya, dan akhlaknya yang baik sepanjang perjalanan.

Utsman ibn Talha memeluk Islam selama Perjanjian Hudaibiyah pada tahun kedelapan Hijriah dan hijrah ke Madinah bersama Khalid ibn al-Walid (semoga Allah meridhoi mereka berdua).

Utsman ibn Talha adalah penjaga kunci Ka'bah, sebuah tanggung jawab bergengsi yang diwariskan melalui keluarganya. Ketika Nabi (ﷺ) menaklukkan Mekah, Utsman menyerahkan kuncinya kepada beliau. Namun, alih-alih menyimpannya, Nabi (ﷺ) mengembalikannya kepadanya dan mengumumkan kepada orang-orang bahwa tugas ini akan tetap bersama suku Banu Shaybah, klan Utsman.

Tindakan ini merupakan kehormatan besar bagi Utsman dan sukunya, memastikan bahwa mereka akan terus memegang tanggung jawab suci ini.

Keteguhan Para Sahabat Terhadap Gangguan Abu Lahab (lanjutan)

Para Sahabat Nabi (ﷺ) menunjukkan keimanan yang kokoh dan keteguhan hati dalam menghadapi penganiayaan, terutama dari Abu Lahab, salah satu musuh Islam yang paling sengit. Sejak Nabi (ﷺ) mulai berdakwah secara terbuka menyeru kepada tauhid (keesaan Allah), Abu Lahab memimpin kampanye penghinaan, pelecehan, dan perlawanan terhadap beliau dan para pengikutnya.

Meskipun demikian, para sahabat tetap tegar, sabar, dan tidak gentar. Mereka menahan siksaan fisik, boikot sosial, dan penghinaan demi mempertahankan iman mereka. Bilal ibn Rabah (RA), misalnya, disiksa di bawah terik matahari dan dipukuli, namun ia terus menyerukan, "Ahad! Ahad!" (Allah Maha Esa!). Abu Bakar As-Siddiq (RA) sering kali membela Nabi (ﷺ), bahkan mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk melindungi beliau dari serangan kaum Quraisy.

Kesabaran dan keteguhan para sahabat bukan hanya perjuangan pribadi, tapi merupakan bukti nyata dari keyakinan mendalam dan kepercayaan mereka kepada Allah. Kemenangan Islam di kemudian hari menjadi bukti bahwa kebenaran akan selalu mengalahkan kebatilan dan penindasan.

Kehormatan Umm ‘Umara dalam Membela Nabi (ﷺ)

Umm ‘Umara (semoga Allah meridhoi beliau) adalah salah satu sahabiyah (sahabat perempuan) yang menunjukkan keberanian luar biasa dengan ikut serta dalam berbagai pertempuran. Salah satu momen paling heroik adalah dalam Perang Uhud. Ketika kaum musyrik mengepung Nabi (ﷺ) dan berusaha membunuhnya, seorang pria bernama Ibn Qami’ah berteriak:

"Tunjukkan padaku di mana Muhammad! Jika dia selamat, aku tidak akan hidup!"

Umm ‘Umara berdiri menghadangnya, bersama Mus’ab ibn Umair (RA). Namun, Mus’ab gugur dalam pertempuran, dan Umm ‘Umara tetap berdiri sendirian menghadapi musuh. Ia terluka parah di lehernya oleh tebasan Ibn Qami’ah, namun tetap bertahan dan terus melindungi Nabi (ﷺ), meskipun terluka di beberapa bagian tubuhnya.

Melihat keberaniannya, Nabi (ﷺ) memanggil putranya untuk mengobati luka-lukanya, dan beliau mendoakan keberkahan untuk Umm ‘Umara dan keluarganya. Saat mendengar suara Nabi, Umm ‘Umara memohon agar beliau mendoakan agar dirinya dan keluarganya menjadi penghuni surga. Nabi (ﷺ) pun mengabulkannya, dan itu menjadi kebahagiaan terbesar bagi Umm ‘Umara.

Setelah kembali ke Madinah, Umm ‘Umara ingin ikut serta lagi dalam pertempuran, namun karena luka-lukanya cukup parah, ia tidak mampu. Kaum wanita Muslimin pun berkumpul dan merawatnya hingga pulih. Beberapa hari kemudian, Nabi (ﷺ) menanyakan keadaannya, dan beliau diberi kabar bahwa Umm ‘Umara sedang dalam masa pemulihan.

Penolakan Utsman ibn ‘Affan untuk Tawaf Sebelum Nabi (ﷺ)

Utsman ibn ‘Affan (RA) diutus oleh Nabi Muhammad (ﷺ) ke Quraisy menjelang Perjanjian Hudaibiyah. Nabi (ﷺ) dan para sahabatnya telah sampai di Hudaibiyah, berniat untuk melaksanakan umrah, bukan berperang. Utsman ditugaskan untuk menyampaikan niat damai ini kepada Quraisy dan juga untuk menenangkan kaum Muslimin yang masih tinggal di Mekah, bahwa kemenangan akan segera datang.

Selama di Mekah, Quraisy menawarkan Utsman untuk melakukan tawaf, namun Utsman menolak. Ketika Utsman belum kembali dalam beberapa hari, muncul kabar bahwa ia mungkin telah melakukan tawaf. Nabi (ﷺ) menenangkan para sahabat dan berkata bahwa Utsman tidak akan melakukan tawaf sebelum beliau melakukannya.

Setelah kembali, Utsman berkata:

"Sungguh buruk prasangka kalian terhadapku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, meskipun aku tinggal di Mekah selama setahun sedangkan Rasulullah (ﷺ) masih berada di Hudaibiyah, aku tidak akan tawaf sebelum beliau melakukannya. Sungguh Quraisy mengundangku untuk tawaf, namun aku menolak!"

Peristiwa ini menunjukkan kesetiaan dan rasa hormat Utsman kepada Nabi (ﷺ). Meskipun sebagian riwayat ini dianggap lemah, kisah tentang pengutusan Utsman dalam peristiwa Hudaibiyah adalah sahih.

Perselisihan Para Sahabat dalam Mendidik Umamah binti Hamzah

Para sahabat mulia selalu berusaha menjadi yang pertama dalam melakukan kebaikan. Salah satunya adalah dalam hal memelihara anak yatim. Ketika Nabi (ﷺ) selesai melakukan Umrah Qadha dan hendak meninggalkan Mekah, Umamah binti Hamzah (RA), anak yatim dari Hamzah ibn Abdul-Muththalib, memanggil beliau:

"Wahai paman! Wahai paman!"

Tiga sahabat mulia pun bersaing untuk mendapatkan kehormatan membesarkannya:

  • Ali ibn Abi Talib (RA) berkata, "Dia adalah sepupuku, dan aku yang pertama mengambilnya".
  • Ja‘far ibn Abi Talib (RA) berkata, "Dia juga sepupuku, dan istriku adalah bibi dari pihak ibu".
  • Zayd ibn Haritsah (RA) berkata, "Dia adalah keponakanku, karena aku adalah saudara sesusuan Hamzah".

Nabi (ﷺ) memutuskan hak asuh jatuh kepada Ja‘far, seraya bersabda:

"Bibi dari pihak ibu itu seperti ibu".

Beliau juga menenangkan hati para sahabat lainnya dengan kata-kata lembut. Keputusan ini menunjukkan hikmah Nabi (ﷺ) dan menunjukkan pentingnya hubungan keluarga dan kesejahteraan anak yatim.

Kategori Sahabat Artikel

Tinggalkan Komentar

Harap jangan menggunakan nama bisnis Anda untuk berkomentar.