Sa'ad bin Ubadah

Sa'ad bin Ubadah
Oleh Who Muhammad Is Tim
| Komentar

Sa'ad bin Ubadah bin Dulaym al-Khazraji adalah salah satu pemimpin terkemuka dari kalangan Anshar (penolong Nabi di Madinah) serta termasuk di antara para sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang paling dihormati. Sebagai kepala suku Khazraj, Sa'ad memainkan peran penting dalam komunitas Islam pada masa-masa awal.

Ia adalah salah satu orang yang pertama memeluk Islam, seorang pendukung dakwah yang terkenal akan kedermawanannya yang luar biasa, serta sosok berpengaruh yang turut membentuk lanskap politik dan sosial dari negara Islam yang baru terbentuk di Madinah. Namun, kehidupan Sa'ad pada masa akhir serta pendiriannya setelah wafatnya Nabi menjadi bahan pengamatan dan perdebatan, mencerminkan kompleksitas masa transisi setelah meninggalnya Rasulullah. Kisah Sa'ad bin Ubadah menawarkan wawasan berharga tentang kepemimpinan, solidaritas komunitas, persaingan politik, dan hakikat kewenangan pada fase-fase paling awal dalam sejarah Islam.

Kehidupan Awal dan Latar Belakang

Sa'ad bin Ubadah berasal dari suku Khazraj, salah satu dari dua suku Arab utama di Madinah, di samping suku Aus. Sebelum datangnya Islam, Khazraj dan Aus terlibat dalam permusuhan yang telah berlangsung lama. Pertikaian suku yang sering terjadi menjadi ciri kehidupan di Yatsrib (nama lama Madinah), menciptakan masyarakat yang terpecah dan penuh ketegangan.

Di tengah situasi ini, Sa'ad bin Ubadah tampil sebagai salah satu pemimpin Khazraj yang disegani. Kemampuan kepemimpinan, sifat dermawan, dan latar belakang keluarganya yang terpandang turut membentuk reputasinya sebagai bangsawan yang dihormati di mata kaumnya.

Masuk Islam dan Perannya di Era Kenabian

Nasib kota Yatsrib berubah secara dramatis dengan hadirnya Islam. Ketika kabar tentang dakwah Nabi Muhammad menyebar ke luar Makkah, delegasi dari Yatsrib datang menemuinya. Pertemuan-pertemuan awal ini berpuncak pada diadakannya Bai’at al-‘Aqabah yang bersejarah. Sa'ad bin Ubadah termasuk di antara mereka yang bertemu Nabi dan memeluk Islam sebelum Hijrah (pindahnya Nabi ke Madinah). Ia ikut serta dalam Bai’at al-‘Aqabah kedua, di mana lebih dari 70 orang dari Madinah sepakat untuk melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka sendiri. Perjanjian ini membentuk aliansi baru yang menjadi dasar Hijrah dan pembentukan masyarakat Muslim yang pertama kali benar-benar kohesif.

Setibanya Nabi di Madinah, Sa'ad bin Ubadah menonjol sebagai figur penting yang dapat membantu menyatukan Aus dan Khazraj, yang sebelumnya terpecah, di bawah panji Islam. Keislamannya yang awal dan kedudukan tingginya menjadikannya mediator dan fasilitator yang berharga dalam membina harmoni masyarakat. Usaha Nabi membentuk persaudaraan (mu’akhah) antara Muhajirin (pendatang dari Makkah) dan Anshar (penolong di Madinah) akan jauh lebih sulit tanpa kehadiran para pemimpin lokal berpengaruh seperti Sa'ad.

Sifat dan Kontribusi

Salah satu sifat Sa'ad bin Ubadah yang paling dikenal adalah kedermawanan, keramahan, serta kesediaannya membelanjakan hartanya demi kepentingan masyarakat. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa rumahnya menjadi tempat berkumpul, dan ia sering menjamu tamu, musafir, serta orang-orang yang membutuhkan. Kebaikannya dipuji pada masa hidup Nabi, sebab etos Islam masa awal mengajarkan bahwa harta adalah titipan Allah yang harus digunakan untuk kemaslahatan umat dan dalam ketaatan kepada petunjuk Ilahi. Contoh yang diberikan Sa'ad memperkuat nilai-nilai Islam utama: peduli pada sesama, memberi makan yang lapar, dan menjamin kesejahteraan umum masyarakat.

Selain kemurahan hati dalam materi, Sa'ad juga berperan sebagai penasihat dan pemimpin yang mampu menggerakkan opini publik di kalangan Anshar. Nabi sering mengandalkan nasihat serta dukungan para pemimpin komunitas yang sudah mapan. Meskipun sumber-sumber sejarah tidak menyebutkan bahwa Sa'ad memainkan peran kepemimpinan militer yang menentukan seperti Khalid bin al-Walid atau Sa'ad bin Abi Waqqas, ia tetap berkontribusi dalam pertahanan bersama serta terlibat dalam berbagai upaya menjaga keamanan negara Muslim yang baru lahir. Perannya lebih bersifat sosial dan politik daripada militer. Namun, pada masa Islam awal, batas antara peran sosial, politik, dan militer sering kali beririsan karena setiap laki-laki yang mampu diharapkan ikut berpartisipasi dalam membela komunitas.

Peristiwa Saqifah Bani Sa’idah dan Persoalan Kepemimpinan

Nama Sa'ad bin Ubadah paling mencuat dalam peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi pada tahun 11 H (632 M). Pertanyaan mendesak yang dihadapi masyarakat Muslim setelah kepergian Nabi adalah siapa yang akan memimpin umat. Karena Nabi tidak menunjuk pengganti secara eksplisit, berbagai kelompok secara alami condong pada pemimpin dan kepentingan mereka sendiri, didorong oleh keinginan untuk memastikan pemerintahan yang stabil yang dapat memelihara dan melanjutkan negara Islam yang baru.

Pencarian pemimpin ini mengarah pada pertemuan bersejarah di Saqifah Bani Sa’idah. Kaum Anshar, yang telah menjadi tuan rumah dan pelindung Nabi, merasa memiliki hak kuat atas kepemimpinan. Sementara itu, kaum Muhajirin yang telah mengalami penganiayaan di Makkah dan berhijrah ke Madinah demi iman, juga menganggap diri mereka sebagai pewaris sah tampuk kepemimpinan politik Nabi. Sa'ad bin Ubadah, sebagai salah satu pemimpin teratas di kalangan Anshar dan sosok yang dihormati karena pelayanan serta kedudukannya, muncul sebagai calon yang didukung sebagian anggota komunitasnya.

Perdebatan di Saqifah Bani Sa’idah dilaporkan berlangsung sengit. Kaum Muhajirin, yang diwakili Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, dan yang lain, berargumen bahwa Quraisy (suku Nabi) seharusnya memegang kekhalifahan karena kedekatan nasab dengan Nabi dan peran pionir mereka dalam Islam. Anshar menekankan dukungan, pengorbanan, serta kenyataan bahwa Madinah dan penduduknya telah menjadi tempat berlindung dan penguat agama di saat yang genting. Menurut berbagai catatan sejarah, Sa'ad bin Ubadah hadir secara fisik—meski sakit dan diselimuti kain—saat pertemuan, menampilkan diri sebagai calon dari pihak Anshar.

Keputusan akhirnya menyaksikan Abu Bakar terpilih sebagai Khalifah pertama. Umar bin al-Khattab membai’at Abu Bakar, dan mayoritas segera mengikuti. Namun, Sa'ad bin Ubadah terkenal karena tidak membai’at Abu Bakar. Alasan di balik ini ditafsirkan dengan berbagai cara. Beberapa sumber berpendapat ia tetap yakin bahwa Anshar pantas mendapatkan kedudukan atau prioritas dalam kepemimpinan, sementara yang lain menyebutkan kekecewaan pribadi atau prinsip politik. Bagaimanapun, penolakannya untuk membai’at Abu Bakar membedakannya dari sebagian besar sahabat senior lainnya dan memposisikannya sebagai figur oposisi, atau setidaknya seorang yang berbeda pendapat pada masa awal kekhalifahan.

Dampak dan Penarikan Diri dari Kehidupan Publik

Pasca peristiwa di Saqifah, beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa Sa'ad bin Ubadah menarik diri dari keterlibatan aktif dalam ranah politik di Madinah. Ada beberapa ketidakjelasan tentang sifat hubungannya dengan kekhalifahan yang baru lahir, namun umumnya disepakati bahwa ia tidak secara terbuka menentang otoritas Abu Bakar. Sebaliknya, ia tampak mengambil sikap non-partisipasi. Seiring waktu, ketika kekhalifahan Abu Bakar, lalu Umar bin al-Khattab, semakin stabil, fokus masyarakat beralih pada perluasan pemerintahan Islam serta konsolidasi kekuasaan Muslim atas seluruh Jazirah Arab dan kawasan sekitarnya.

Akhirnya, Sa'ad bin Ubadah meninggalkan Madinah dan bepergian ke Syam (Bilad al-Sham). Banyak Muslim awal yang kemudian menetap di wilayah ini saat negara Islam berkembang di bawah para Khalifah Rasyidun. Di tanah Syam inilah Sa'ad dikabarkan wafat. Beberapa penulis sejarah menempatkan kematiannya sekitar tahun 14 H (kira-kira 635 M), meskipun tanggal pastinya sedikit bervariasi. Kepergiannya dari Madinah dan kematiannya di Syam menunjukkan terjadinya pergeseran geografis dan perubahan demografis seiring penyebaran Islam ke luar Jazirah Arab.

Kontroversi dan Laporan yang Berbeda-Beda

Penolakan Sa'ad bin Ubadah untuk membai’at Abu Bakar telah lama menjadi sorotan dalam studi sejarah. Para sejarawan dan ulama dari masa awal hingga kemudian berusaha mengurai alasannya. Sebagian sumber menggambarkan sikap Sa'ad didasari kebanggaan kesukuan dan keyakinan tulus bahwa Anshar seharusnya memegang kepemimpinan karena peran mereka yang mendasar dalam mendukung Nabi ketika banyak pihak lain menolaknya. Sumber lain memandang Sa'ad sebagai simbol ketidaksepakatan awal atau sosok yang tidak dapat berdamai dengan realitas politik yang muncul pasca wafatnya Nabi.

Ada juga dimensi misterius dan legendaris terkait kematiannya. Beberapa riwayat—meski tidak diterima secara universal—menyebut bahwa Sa'ad bin Ubadah dibunuh oleh kekuatan gaib atau jin saat ia sedang buang hajat. Riwayat seperti ini, yang kadang disertai syair-syair yang konon diucapkan makhluk halus tersebut, tidak dapat diverifikasi secara historis. Namun, kisah ini menjadi bagian dari tradisi lisan tentang beberapa sahabat yang akhir hidupnya dianggap tidak biasa atau kurang terdokumentasi.

Para sarjana modern menanggapi narasi ini dengan hati-hati. Mereka mencatat bahwa tradisi penceritaan pada masa awal Islam dapat menggabungkan peristiwa sejarah faktual dengan unsur legendaris atau folklor, terutama ketika keadaan akhir seorang tokoh besar tidak tercatat dengan jelas. Terlepas dari keotentikan kisah-kisah tersebut, keberadaannya mencerminkan ketertarikan dan spekulasi terhadap nasib seorang sahabat terkemuka yang tidak sejalan dengan konsensus politik yang terbentuk.

Warisan Sa'ad bin Ubadah

Dalam mempertimbangkan warisan Sa'ad bin Ubadah, perlu diperhatikan perannya yang sangat krusial dalam pembentukan komunitas Islam awal serta sikapnya di kemudian hari yang menjauhkannya dari arus utama politik. Ia tak diragukan lagi termasuk figur terkemuka di kalangan Anshar, dan dukungannya sangat berperan dalam menciptakan lingkungan yang stabil bagi Islam untuk tumbuh subur di Madinah setelah Hijrah. Kedermawanannya, loyalitasnya pada masa Nabi, serta kontribusinya dalam tatanan spiritual dan sosial umat Islam yang baru berkembang, tidak dapat disangsikan.

Pada saat yang sama, kontroversi terkait Saqifah Bani Sa’idah dan penolakannya membai’at Abu Bakar menyoroti ketegangan yang muncul dalam komunitas Muslim awal ketika mereka dihadapkan pada masalah suksesi. Tidak adanya arahan langsung dari Nabi mengenai hal ini membuka pintu bagi beragam interpretasi dan klaim. Sikap Sa'ad menegaskan bahwa komunitas pasca-Nabi bukanlah satu suara; tokoh-tokoh penting terkadang memiliki pandangan berbeda mengenai cara menentukan kepemimpinan.

Dari perspektif historiografi, kehidupan Sa'ad bin Ubadah dan rangkaian peristiwa yang terkait dengannya menekankan pentingnya memahami masa awal Islam sebagai era perkembangan, negosiasi, dan visi-visi yang saling bertentangan. Ia mewakili kompleksitas penerapan cita-cita persatuan dan pemerintahan setelah wafatnya Nabi. Penarikan dirinya dari panggung politik dan perpindahannya ke Syam mencerminkan tren yang lebih luas, di mana banyak sahabat berpindah ke wilayah-wilayah baru yang dikuasai Islam, membawa pengaruh agama melampaui batas-batas Jazirah Arab. Diaspora para sahabat ini akan membawa dampak kultural, keagamaan, dan politik yang besar bagi bentuk peradaban Islam di abad-abad berikutnya.

 

Kategori Sahabat

Tinggalkan Komentar

Harap jangan menggunakan nama bisnis Anda untuk berkomentar.