Zaid bin Tsabit
-
Garis Keturunan Zaid bin Tsabit
-
Keahlian Zaid bin Tsabit dalam Hukum Waris dan Pendapat Hukumnya
-
Peran Zaid bin Tsabit dalam Menyalin Wahyu selama Era Nabi
-
Kompilasi Al-Qur'an oleh Zaid bin Tsabit selama Era Abu Bakar
-
Penunjukan Zaid bin Tsabit sebagai Wakil ke Syam
-
Wafatnya Zaid bin Tsabit
Garis Keturunan Zaid bin Tsabit
Dia adalah Zaid bin Tsabit bin Al-Dhahhak bin Zaid bin Lu'dhan bin Amr bin Abd Awf bin Ghanm bin Malik bin Al-Najjar bin Tha'alabah. Dikatakan bahwa dia memiliki dua kunya, yaitu Abu Sa'id dan Abu Kharijah. Dia memiliki anak-anak berikut: Ibrahim, Abdul Rahman, Muhammad, dan Umm Al-Hasan.
Keahlian Zaid bin Tsabit dalam Hukum Waris dan Pendapat Hukumnya
Sahabat yang terhormat, Zaid, sangat terkenal karena pemahamannya yang mendalam dalam bidang hukum waris (fiqih Islam yang berkaitan dengan warisan), dan fatwanya (pendapat hukum) dalam hal ini sangat dihormati. Zaid unggul dalam pemahamannya tentang aspek pengetahuan ini, yang dianggap sebagai setengah dari seluruh pengetahuan.
Ini karena pengetahuan dapat dikategorikan menjadi yang berlaku bagi yang hidup dan yang berlaku bagi yang meninggal. Hukum waris termasuk dalam kategori yang terakhir, sedangkan pendapat hukum tentang warisan berkaitan dengan beberapa aspek dari kategori yang pertama. Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa hukum waris adalah pengetahuan pertama yang hilang dari suatu komunitas, yang mengarah pada kebodohan yang meluas dalam hal ini. Sahabat yang terhormat, Zaid bin Tsabit, semoga Allah meridhoinya, sangat berdedikasi untuk mempelajari pengetahuan tentang hukum waris dan fatwa hingga dia menguasainya. Dia sangat tekun dalam mendokumentasikannya, karena dikatakan bahwa jika dia tidak menuliskannya, pengetahuan itu akan hilang dari dokumentasi.
Peran Zaid bin Tsabit dalam Menyalin Wahyu selama Era Nabi
Zaid bin Tsabit, sahabat yang dihormati, adalah salah satu sahabat yang belajar menulis dari tawanan Quraisy selama Perang Badar sebagai cara bagi mereka yang tidak bisa menebus diri dengan uang. Pada saat itu, usianya tidak lebih dari dua belas tahun. Kemahirannya dalam menulis membuatnya dipercaya untuk menyalin wahyu ilahi, meskipun masih muda, karena kepercayaannya di mata Rasulullah, sallallahu alaihi wasallam.
Zaid, semoga Allah meridhoinya, adalah sahabat yang paling banyak menyalin wahyu dan menulis surat. Dikatakan bahwa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib juga termasuk di antara mereka yang menyalin wahyu. Jika mereka tidak ada, maka Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka'ab, semoga Allah meridhoi keduanya, akan mengambil alih.
Kompilasi Al-Qur'an oleh Zaid bin Tsabit selama Era Abu Bakar
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq menulis surat kepada Zaid bin Tsabit, memberitahunya tentang syahidnya para penghafal Al-Qur'an terkemuka dalam Perang Yamama. Dia juga menyebutkan saran Umar bin Khattab untuk mengumpulkan Al-Qur'an, khawatir akan kehilangannya, dan menunjukkan betapa terbukanya dia terhadap pendapat Umar. Dia meyakinkan Zaid tentang kepercayaannya dalam menjaga Al-Qur'an, memerintahkannya untuk mengumpulkan semua teks Al-Qur'an dari para sahabat ke satu tempat.
Zaid bin Tsabit awalnya ragu-ragu karena beratnya tanggung jawab dan kenyataan bahwa Nabi Muhammad, sallallahu alaihi wasallam, tidak pernah melakukan usaha semacam itu sebelumnya. Abu Bakar terus berkonsultasi dengan Zaid sampai penerimaan itu masuk ke dalam hatinya.
Penunjukan Zaid bin Tsabit sebagai Wakil ke Syam
Khalifah Umar bin Khattab biasa menunjuk Zaid bin Tsabit, semoga Allah meridhoinya, sebagai wakilnya selama perjalanan haji. Dia menunjuknya tiga kali: dua kali selama perjalanan hajinya dan sekali ketika dia melakukan perjalanan ke Syam (Suriah Raya). Demikian pula, Khalifah Utsman bin Affan akan menunjuk Zaid sebagai wakilnya selama perjalanan hajinya.
Wafatnya Zaid bin Tsabit
Zaid bin Tsabit meninggal sebelum matahari terbenam. Pendapat kaum Ansar (penduduk Madinah yang mendukung Nabi Muhammad) adalah untuk menguburkannya di pagi hari, bertentangan dengan pendapat Zaid bin Kharijah yang menyarankan untuk menguburkannya sebelum fajar. Dia dimandikan dengan air, kemudian dengan sidr (sejenis tumbuhan), dan akhirnya dengan kapur barus. Dia dikafani dengan tiga lembar kain. Beberapa mengatakan dia meninggal pada tahun empat puluh lima setelah Hijrah, sementara yang lain mengklaim itu terjadi pada tahun lima puluh lima setelah Hijrah.